Prof. Emil Salim, M.A., Ph.D.
Mencari Kearifan Masa Lalu
Ia memiliki kecerdasan dan daya analisa setiap kali mengambil kesimpulan, menyampaikan pendapat dan beragumentasi. Keterbukaan sikap dan keterusterangann menempatkannya menjadi seorang pribadi yang disenangi banyak orang. Ia termasuk salah seorang peletak dasar ekonomi Orde Baru yang dijuliki "Berkeley Mafia" yang dikenal lurus dan bersih.
Menurut mantan guru besar FE-UI ini, keliru besar jika sarjana ekonomi kemudian jadi koruptor. Sarjana ekonomi harus berpikir, bekerja, dan mengabdi dengan landasan hati nurani.
Ia mengecap pendidikan dasar di Lahat, sebuah kota kecil di pinggir sungai Lematang, Sumatera Selatan. Ketika itu hutan masih tumbuh lebat di sekeliling kota. Pohon duren tumbuh bebas di pinggir jalan dan dalam hutan. Tiap kali sehabis hujan deras dengan angin kencang, ia bersama teman-teman sering masuk hutan mencari buah duren yang banyak berjatuhan ditimpa angin.
Selain itu, guru kelasnya di Sekolah Dasar setiap hari Sabtu suka mengajak murid-murid berjalan-jalan masuk hutan, di kaki bukit Serelo yang tersohor di daerah. Sambil berjalan di hutan, guru menjelaskan berbagai peranan pacet penghisap darah manusia, yang rupanya juga berguna bagi manusia sebagai penunjuk arah matahari karena sifat kepala pacet selalu mencari kehangatan.
Dan dengan mengetahui letak arah matahari, sekaligus kita memiliki kompas alami penunjuk jurus Utara-Timur-Barat-Selatan. Guru juga mengajak mereka (murid) belajar "minum madu" dari sejenis bunga sebagai pengganti air bila tersesat. Dan mencari sisa makanan beruk di tanah untuk memperoleh petunjuk jenis buah mana bisa dimakan manusia. Karena apa yang bisa dimakan monyet dapat pula dimakan manusia. Dan sambil bertualang guru bercerita tentang hutan sehingga dalam alam fikiran Emil hutan itu menjadi buku pembuka rahasia alam.
Secara selang seling, pada hari-hari Sabtu berikutnya, guru membacakan buku pada jam pelajaran terakhir. Guru pandai membawakan suaranya sehingga pelaku dalam buku terasa hidup. Guru suka membacakan isi buku Karl May menceritakan petualangan Old Shatterhand dengan kawan karibnya Winnetou, kepala Suku Appachen. Tetapi gurunya ini cerdik. Ia mengambil adegan dalam bab yang mengasyikkan dan seru. Pada saat cerita mencapai klimaksnya dan Winnetou tertembak lalu guru berhenti membaca dan mempersilahkan murid membaca sendiri. “Bisalah dibayangkan bahwa kita berebutan mencari buku, tidak saja dalam perpustakaan sekolah tetapi juga di toko-toko buku,” kenang Emil Salim dalam tulisannya yang sengaja dibuat atas permintaan Penjaga Wigwam (15 September 2000).
(Melihat Raut Muka Beliau, saya teringat akan kakek saya,.Aki Karsan, salam sayang dari cucunda Arip Nurahman dan Fahmi Ramadhan )
Akibat pengaruh gurulah ia menjadi "kutu buku" membaca semua buku karangan Karl May dan mengenal tokoh-tokoh Old Shatterhand, Winnetou, Kara-ben-Nemsi dan lain-lain. Lalu bersama teman-teman di waktu libur ia menjelajahi hutan di sekitar Bukit Serelo dan sepanjang sungai Lematang untuk berlaku-gaya sebagai Old Shatterhand. Daging semur dari dapur dibungkus untuk dipanggang di hutan meniru gaya para Indian membakar daging. Mereka bikin tanda-tanda sepanjang jalan yang dilalui agar tidak sesat di hutan.
Mereka mencoba menghidupi daya khayal cerita bacaan menjadi kenyataan. “Dan hidup terasa begitu tenteram mengasyikkan. Karena benang merah yang ditonjolkan dalam buku-buku Karl May adalah kedamaian, keikhlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan,” urai Emil.
Setelah selesai membaca buku "Kematian Winnetou" ia termenung dan air mata meleleh. Alangkah agungnya pribadi Winnetou, kepala suku Indian Appachen ini.
Puluhan tahun kemudian, ketika ia ditugaskan mengembangkan lingkungan hidup di tanah-air, ingatannya pada cerita Karl May bangkit kembali. Hutan tidak lagi dilihat sebagai obyek pengusaha HPH, tetapi sebagai "rumah besar" bagi segala makhluk yang hidup. Maka terbayang di matanya peranan pacet, bunga pemberi madu, monyet dll. Terpampanglah keterkaitan antara hubungan manusia dengan hutan sebagaimana tergambarkan pada besarnya peranan hutan bagi Winnetou dan suku Apachennya.
Tapi, katanya, hidup di abad "modern" telah "memakan" hutan alami untuk disubstitusi dengan "hutan buatan manusia." Namun bisakah "hutan buatan manusia" ini masih menumbuhkan keterkaitan akrab antara manusia dengan alam-buatan ini?
Akan mungkinkah "kedamaian, keihlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan" ini ditumbuhkan dalam hutan buatan manusia? Akan mungkinkah tumbuh sosok tubuh seperti Winnetou yang mempersonifikasikan berbagai ciri-ciri kehidupan asri ini?
Dalam bergelut dengan tantangan permasalahan ini, ingatannya kembali pada "dunia alamnya" Old Shatterhand, Winnetou dan Kara-ben-Nemsi. Mencari kearifan di masa lalu untuk bekal menanggapi tantangan masa depan.
Kebanggaan di Masa Purnabakti
Jika ada pejabat negara risi dengan hibah yang dicantumkan dalam daftar kekayaannya, lain halnya dengan Prof Dr Emil Salim. Mantan Meneg KLH di masa pemerintahan rezim Orde Baru itu mengaku terharu dan bangga atas hibah yang diterimanya. "Saya bangga dan mengucapkan terima kasih atas pemberian hibah cincin ini," ujar Emil Salim di hadapan civitas akademika yang sedang merayakan hari jadi ke-51 FE UI di Kampus Universitas Indonesia Depok.
Emil merupakan salah satu guru besar FE UI yang memasuki purnabakti. Sebagai wujud tali kasih, FE UI memberikan hibah cincin kepadanya. Selain Emil, guru besar FE UI yang purnabakti lainnya adalah Prof Dr Subroto, Prof Dr Saleh Afiff, Prof Dr Rustam Didong, Prof Dr B.S. Muljana, dan Prof Dr Moh. Arsjad Anwar.
Emil termasuk salah satu peletak dasar ekonomi Orde Baru. Dia dikenal lurus dan bersih. Karena itu, saat memberikan pidato perpisahan, ia meminta para sarjana FE UI peduli terhadap nasib rakyat. Dia minta agar para sarjana UI tidak menjadi pekerja otak yang berusaha mendapatkan penghasilan maksimal.
"Dan, keliru besar jika sarjana ekonomi kemudian jadi koruptor. Keliru besar dan sesat juga jika menjadi bajingan-bajingan seperti itu," katanya. Tak jelas betul siapa yang kena tohok anggota Komnas HAM itu sebagai koruptor bajingan. "Sarjana FE UI harus berpikir, bekerja, dan mengabdi dengan landasan hati nurani," tambahnya.
Meski resmi purnabakti, ia tampak masih disegani civitas akademika UI. Karena itu, civitas akademika tampak keberatan atas kepergiannya dari almamater. Lalu, apa kata Emil? "Sudah lama saya mengabdi pada almamater ini. Sekarang, giliran anak-anak muda," kata Emil.
Ia mengecap pendidikan dasar di Lahat, sebuah kota kecil di pinggir sungai Lematang, Sumatera Selatan. Ketika itu hutan masih tumbuh lebat di sekeliling kota. Pohon duren tumbuh bebas di pinggir jalan dan dalam hutan. Tiap kali sehabis hujan deras dengan angin kencang, ia bersama teman-teman sering masuk hutan mencari buah duren yang banyak berjatuhan ditimpa angin.
Selain itu, guru kelasnya di Sekolah Dasar setiap hari Sabtu suka mengajak murid-murid berjalan-jalan masuk hutan, di kaki bukit Serelo yang tersohor di daerah. Sambil berjalan di hutan, guru menjelaskan berbagai peranan pacet penghisap darah manusia, yang rupanya juga berguna bagi manusia sebagai penunjuk arah matahari karena sifat kepala pacet selalu mencari kehangatan.
Dan dengan mengetahui letak arah matahari, sekaligus kita memiliki kompas alami penunjuk jurus Utara-Timur-Barat-Selatan. Guru juga mengajak mereka (murid) belajar "minum madu" dari sejenis bunga sebagai pengganti air bila tersesat. Dan mencari sisa makanan beruk di tanah untuk memperoleh petunjuk jenis buah mana bisa dimakan manusia. Karena apa yang bisa dimakan monyet dapat pula dimakan manusia. Dan sambil bertualang guru bercerita tentang hutan sehingga dalam alam fikiran Emil hutan itu menjadi buku pembuka rahasia alam.
Secara selang seling, pada hari-hari Sabtu berikutnya, guru membacakan buku pada jam pelajaran terakhir. Guru pandai membawakan suaranya sehingga pelaku dalam buku terasa hidup. Guru suka membacakan isi buku Karl May menceritakan petualangan Old Shatterhand dengan kawan karibnya Winnetou, kepala Suku Appachen. Tetapi gurunya ini cerdik. Ia mengambil adegan dalam bab yang mengasyikkan dan seru. Pada saat cerita mencapai klimaksnya dan Winnetou tertembak lalu guru berhenti membaca dan mempersilahkan murid membaca sendiri. “Bisalah dibayangkan bahwa kita berebutan mencari buku, tidak saja dalam perpustakaan sekolah tetapi juga di toko-toko buku,” kenang Emil Salim dalam tulisannya yang sengaja dibuat atas permintaan Penjaga Wigwam (15 September 2000).
(Melihat Raut Muka Beliau, saya teringat akan kakek saya,.Aki Karsan, salam sayang dari cucunda Arip Nurahman dan Fahmi Ramadhan )
Akibat pengaruh gurulah ia menjadi "kutu buku" membaca semua buku karangan Karl May dan mengenal tokoh-tokoh Old Shatterhand, Winnetou, Kara-ben-Nemsi dan lain-lain. Lalu bersama teman-teman di waktu libur ia menjelajahi hutan di sekitar Bukit Serelo dan sepanjang sungai Lematang untuk berlaku-gaya sebagai Old Shatterhand. Daging semur dari dapur dibungkus untuk dipanggang di hutan meniru gaya para Indian membakar daging. Mereka bikin tanda-tanda sepanjang jalan yang dilalui agar tidak sesat di hutan.
Mereka mencoba menghidupi daya khayal cerita bacaan menjadi kenyataan. “Dan hidup terasa begitu tenteram mengasyikkan. Karena benang merah yang ditonjolkan dalam buku-buku Karl May adalah kedamaian, keikhlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan,” urai Emil.
Setelah selesai membaca buku "Kematian Winnetou" ia termenung dan air mata meleleh. Alangkah agungnya pribadi Winnetou, kepala suku Indian Appachen ini.
Puluhan tahun kemudian, ketika ia ditugaskan mengembangkan lingkungan hidup di tanah-air, ingatannya pada cerita Karl May bangkit kembali. Hutan tidak lagi dilihat sebagai obyek pengusaha HPH, tetapi sebagai "rumah besar" bagi segala makhluk yang hidup. Maka terbayang di matanya peranan pacet, bunga pemberi madu, monyet dll. Terpampanglah keterkaitan antara hubungan manusia dengan hutan sebagaimana tergambarkan pada besarnya peranan hutan bagi Winnetou dan suku Apachennya.
Tapi, katanya, hidup di abad "modern" telah "memakan" hutan alami untuk disubstitusi dengan "hutan buatan manusia." Namun bisakah "hutan buatan manusia" ini masih menumbuhkan keterkaitan akrab antara manusia dengan alam-buatan ini?
Akan mungkinkah "kedamaian, keihlasan, keadilan, kebenaran dan ketuhanan" ini ditumbuhkan dalam hutan buatan manusia? Akan mungkinkah tumbuh sosok tubuh seperti Winnetou yang mempersonifikasikan berbagai ciri-ciri kehidupan asri ini?
Dalam bergelut dengan tantangan permasalahan ini, ingatannya kembali pada "dunia alamnya" Old Shatterhand, Winnetou dan Kara-ben-Nemsi. Mencari kearifan di masa lalu untuk bekal menanggapi tantangan masa depan.
Kebanggaan di Masa Purnabakti
Jika ada pejabat negara risi dengan hibah yang dicantumkan dalam daftar kekayaannya, lain halnya dengan Prof Dr Emil Salim. Mantan Meneg KLH di masa pemerintahan rezim Orde Baru itu mengaku terharu dan bangga atas hibah yang diterimanya. "Saya bangga dan mengucapkan terima kasih atas pemberian hibah cincin ini," ujar Emil Salim di hadapan civitas akademika yang sedang merayakan hari jadi ke-51 FE UI di Kampus Universitas Indonesia Depok.
Emil merupakan salah satu guru besar FE UI yang memasuki purnabakti. Sebagai wujud tali kasih, FE UI memberikan hibah cincin kepadanya. Selain Emil, guru besar FE UI yang purnabakti lainnya adalah Prof Dr Subroto, Prof Dr Saleh Afiff, Prof Dr Rustam Didong, Prof Dr B.S. Muljana, dan Prof Dr Moh. Arsjad Anwar.
Emil termasuk salah satu peletak dasar ekonomi Orde Baru. Dia dikenal lurus dan bersih. Karena itu, saat memberikan pidato perpisahan, ia meminta para sarjana FE UI peduli terhadap nasib rakyat. Dia minta agar para sarjana UI tidak menjadi pekerja otak yang berusaha mendapatkan penghasilan maksimal.
"Dan, keliru besar jika sarjana ekonomi kemudian jadi koruptor. Keliru besar dan sesat juga jika menjadi bajingan-bajingan seperti itu," katanya. Tak jelas betul siapa yang kena tohok anggota Komnas HAM itu sebagai koruptor bajingan. "Sarjana FE UI harus berpikir, bekerja, dan mengabdi dengan landasan hati nurani," tambahnya.
Meski resmi purnabakti, ia tampak masih disegani civitas akademika UI. Karena itu, civitas akademika tampak keberatan atas kepergiannya dari almamater. Lalu, apa kata Emil? "Sudah lama saya mengabdi pada almamater ini. Sekarang, giliran anak-anak muda," kata Emil.