KEBERHASILAN pendidikan Indonesia secara makro sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama sekolah. Rangkaian jutaan sekolah itulah yang akan menentukan bangunan kualitas pendidikan di negara tercinta ini. Singkatnya, apabila mikro sekolah tersebut unggul, dapat dipastikan kualitas pendidikan, bahkan sumber daya manusia, akan terdongkrak menjadi unggul pula.
Menurut penulis, akan lebih baik apabila istilah ”sekolah unggul” diubah menjadi ”sekolah manusia”. Maklumlah, kriteria unggul akan melahirkan banyak versi. Namun, istilah ”manusia” tentu semua orang sepakat. Segala sisi hakikat manusia harus terwakili dalam proses pendidikan manusia itu sendiri.
Indikator sekolah manusia adalah:
Character Building
Manusia hakikatnya terdiri atas dua dimensi. Dimensi jasmani dan rohani. Dua dimensi itu selayaknya harus tersentuh proses pembelajaran dalam hidup manusia. Apabila porsi pendidikan terhadap dua dimensi tersebut tidak seimbang, terutama minim pada dimensi rohani, akan terjadi ”bencana akhlak”. Tidak ada lagi makhluk yang bernama kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, saling menghargai, dan lain-lain.
Character building (CB) adalah bidang studi yang memenuhi kebutuhan rohani setiap manusia. Namun, sedikit sekali sekolah yang menerapkan CB sebagai bidang studi. Yang ada, materi akhlak menjadi satu dengan materi akidah dalam bidang studi agama.
Agent of Change
Sekolah mestinya menjadi agen perubahan. Roh ini sepertinya sudah luntur. Bahkan, sudah merasuk ke paradigma masyarakat bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa yang pandai dan baik-baik. Sekolah ”jeblok” adalah sekolah yang isinya adalah siswa-siswa bodoh dan nakal-nakal atau anak buangan.
Sekolah yang favorit atau unggul cenderung tidak menerima siswa-siswa yang bermasalah. Mereka lebih suka berendam pada ”zona nyaman” yaitu the best input. Pada saat penulis menerapkan sistem penerimaan siswa baru di sebuah sekolah tanpa tes masuk, namun tergantung pada jumlah kursi yang tersedia, kepala sekolahnya dengan tidak yakin bertanya, ”Bagaimana nanti kalau kita dapat murid bodoh-bodoh dan nakal-nakal.”
Penulis menjawab, ”Bukan mestinya sebuah sekolah dibangun untuk memintarkan anak yang bodoh dan membaikkan anak yang nakal? Harus jadi agent of change!” Dengan menerapkan Multiple Intelligence Research kepada setiap siswa pada setiap tahun, ternyata tidak ada siswa yang bodoh. Setiap siswa mempunyai kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang beragam dan harus dihargai.
The Best Process
Konsekuensi agent of change adalah proses pembelajaran yang terjadi di sekolah itu harus terbaik. Pembelajaran yang masuk memori jangka panjang siswanya dan tidak akan lupa seumur hidup. Namun, kenyataannya, yang banyak adalah begitu guru menyelesaikan jam pelajaran, maka hilang juga ilmu yang diajarkan.
Proses pembelajaran harus mengandung kekuatan emosi positif. Mulai proses awal pembelajaran sampai akhir benar-benar menyentuh perasaan siswa.
The Best Teacher
Konsekuensi the best process adalah the best teacher. Kali ini kualitas guru yang dipertanyakan. Beberapa survei menunjukkan kualitas guru di Indonesia masih belum dikatakan baik.
Guru yang baik berperan sebagai fasilitator. Konsep ini sudah lama didengungkan dan dipraktikkan, namun hanya ”awalnya” yang ”hangat”. Setelah itu, kembali kepada paradigma lama, yaitu 80 persen waktu pembelajaran didominasi guru. Seharusnya, persentase proses siswa belajar harus lebih besar daripada persentase proses guru mengajar.
Guru yang baik berperan sebagai katalisator, yaitu terus berusaha memantik kemampuan siswa, termasuk bakatnya. Terutama kepada para siswa yang ”lamban” dalam menerima dan memahami informasi. Bukan malah memihak kepada siswa yang ”pandai” saja.
Guru yang baik selalu berusaha menyesuaikan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswanya. Apabila proses teaching sytle dan learning style sesuai, akan muncul kondisi sebenarnya tidak ada pelajaran yang sulit dan semua siswa mampu menerima informasi dari guru.
Applied Learning
Konten pembelajaran mulai jenjang sekolah dasar sampai seterusnya seharusnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pembelajaran jangan sampai dijadikan ”terpisah”, tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Minimal, peserta didik memahami manfaat materi pembelajaran.
Yang banyak terjadi, banyak siswa tidak mamahami untuk apa sebuah materi diajarkan oleh guru. Dalam sebuah seminar guru yang dihadiri hampir 700 guru TK sampai SMA, penulis bertanya tentang materi ”pohon faktor”, hampir semua guru dapat menjawab semua soal, namun ketika ditanya untuk apa ”pohon faktor” itu, sebagian besar mereka tidak tahu.
Manajemen Sekolah
Dalam sebuah pelatihan manajemen sekolah yang khusus diikuti ratusan penyelenggara atau pemilik sekolah swasta seluruh Indonesia pada 2007, dapat disimpulkan betapa kurangnya pemahaman mereka terhadap manajemen sekolah yang baik. Padahal, manajemen sekolah adalah manajemen pemberdayaan sumber manusia tingkat tinggi, sangat kompleks, dan dibutuhkan orang-orang yang profesional untuk mengelolanya.
Penulis sering menganalogikan manajemen sekolah itu seperti seekor burung merpati putih yang mempunyai dua sayap dan terbang ke sebuah tujuan sangkar kehidupan yang mulia. Sayap pertama adalah context system, yaitu penyelenggara pendidikan, dan sayap kedua adalah content system, yaitu kepala sekolah dan guru.
Mana mungkin merpati itu akan terbang sampai tujuan apabila salah satu sayapnya patah dan tidak dapat bekerja sama. Namun, alangkah cantiknya kalau kepakan sayapnya harmonis. Insya Allah sekolah tersebut akan menjadi the best school dan membawa semua siswanya ke sebuah tujuan yang menjadikan lulusannya manusia yang mempunyai benefiditas dalam hidupnya. (*)
*). Munif Chatib, konsultan pendidikan, penulis buku Sekolahnya Manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar