Founder By:
Wawan Nurwana S.Pd.
Visi
Misi
Program
- Sawah Organik
- Kebun Organik
- Kolam Ikan
- Ternak Kambing
- Ternak Kelinci
- Ternak Bebek
- Kolam Belut
Characteristics of scientific laboratories
Labs used for scientific research take many forms because of the differing requirements of specialists in the various fields of science. A physics lab might contain a particle accelerator or vacuum chamber, while a metallurgy lab could have apparatus for casting or refining metals or for testing their strength. A chemist or biologist might use a wet laboratory, while a psychologist's lab might be a room with one-way mirrors and hidden cameras in which to observe behavior. In some laboratories, such as those commonly used by computer scientists, computers (sometimes supercomputers) are used for either simulations or the analysis of data collected elsewhere. Scientists in other fields will use still other types of laboratories. Despite the great differences among laboratories, some features are common. The use of workbenches or countertops at which the scientist may choose to either sit or stand is a common way to ensure comfortable working conditions for the researcher, who may spend a large portion of his or her working day in the laboratory. The provision of cabinets for the storage of laboratory equipment is quite common. It is traditional for a scientist to record an experiment's progress in a laboratory notebook, but modern labs almost always contain at least one computer workstation for data collection and analysis.
Perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global (global warming), disebabkan meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Sesungguhnya adalah negara-negara industri maju sebagai penghasil karbon terbesar penyebab utama pemanasan global itu. Namun negara berkembang, termasuk Indonesia, ikut juga berkontribusi. Terutama Indonesia sebagai negeri tropis kurang memelihara hutannya yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Walaupun tidak adil bila negara-negara industri maju sebagai penghasil karbon terbesar cenderung hanya menyalahkan Indonesia dan menekan Indonesia untuk memelihara hutan tropisnya, sementara mereka tidak mau ikut ‘membayar’ pemeliharaan hutan tropis itu.
Memang, saat ini kemampuan serap alami hutan terhadap kandungan karbon di udara (menetralisasi buangan karbon terutama dari negara industri maju) sudah makin menurun. Peran hutan yang sebenarnya diandalkan untuk pengendalian kenaikan suhu ataupun peredaman gas rumah kaca (GRK) sudah semakin tidak memadai.
Dalam kondisi ini, sesungguhnya tidak berkeadilan jika sikap negara maju terus menyalahkan negara berkembang, khususnya Indonesia, karena dianggap lalai menjaga kelestarian hutannya. Padahal kerusakan hutan di Indonesia bukan penyebab utama emisi karbon. Yang terjadi adalah negara-negara maju memproduk karbon secara besar-besaran, sementara daya serap alami hutan untuk menetralisasi buangan karbon itu semakin menurun.
Jadi sebenarnya yang harus dilakukan negara-negara industri maju adalah ikut bertanggung jawab mengurangi buangan karbon dan ikut membayar pemeliharaan hutan, terutama hutan tropis sebagai paru-paru dunia. Contoh konkritnya, setiap batang pohon yang tumbuh mekar di Indonesia harus dibayar ‘retribusinya’ oleh dunia, terutama negara-negara industri maju.
(Dari Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar